Hakekat kehidupan manusia adalah
mandiri, karena lahir seorang diri dan pergi ke alam lain juga seorang diri.
Terutama dipandang dari sudut pertanggungjawaban kepada Sang Pencipta. Kelahirannya
memang atas sponsor sepasang manusia, yang jadi bapak dan ibunya, walaupun
banyak juga yang tidak jelas (tahu) siapa bapak dan ibu kandungnya.
Kelahirannya memang sering
terikat dengan status anaknya ini, saudaranya itu, cucunya ini, ponakannya itu,
tetangganya ini, temannya itu; kesemuanya, secara hakekat, hanyalah media untuk
saling berbarter dalam amal atau dosa guna bekal menuju perjalanan ke alam
berikutnya. Sekali lagi, hakekatnya kita adalah seorang diri.
Namun dalam perjalanan di alam
dunia ini, tanpa sadar kita terlena oleh status dan pelayanan. Status sebagai
anaknya ini, adiknya itu, pacarnya ini, istrinya itu, orangtunya ini, dst.
Pelayanan akan pengabdian dan kasih sayang menuju pemanjaan dan kenikmatan
dunia. Sehingga munculah mentalitas yang MERASA tidak bisa hidup mandiri.
Seperti kita pernah mendengar ungkapan ini :
" Kau adalah belahan
jiwaku..."
" Separuh jiwaku
pergi...."
" Kaulah segalanya
bagiku...."
" Garwo, sigaraning nyowo
" (Istri adalah belahan jiwa)
" Hidupku goyah saat
orangtuaku meninggal "
" Aku tak bisa hidup tanpa
dirimu... " (keluhan saat patah hati / pisah)
Sebenarnya, proses pertumbuhan
dan perkembangan manusia menuju pendewasaan dapat diartikan sebagai proses
menuju kemandirian. Namun karena tumbuh rasa cinta dan memiliki pada apa-apa di
dunia ini, membuat ke-ego-an kita tidak mau melepas obyek yang dimiliki atau
dicinta tersebut. Bahkan dengan arogan sering mengatakan keberadaan obyek itu
tidak tergantikan oleh obyek lain. Sehingga saat obyek itu pergi atau hilang,
muncul putus asa dan kesedihan yang hamper tanpa solusi (karena tidak mau
menerima pengganti). Fenomena ini dapat dilihat pada pasangan yang putus cinta,
berpisah ruang (beda tempat), cerai, atau ditinggal pergi selamanya (baca:
mati).
Memang benar bahwa manusia
dijadikan punya rasa suka/cinta kepada sejenisnya, sesama manusia. Namun alam
dan seisinya juga merupakan obyek cinta, asalkan kita bisa memahami dan
menikmatinya. Lihatlah, banyak orang sangat mencintai binatang kesayangannya, tanaman
hias koleksinya, rumahnya, mobilnya, dll.
Sehingga saat benda itu rusak
atau hilang, rasanya seperti kehilangan manusia yang dicintainya. Rasa
kehilangan yang amat sangat akan menimbulkan rasa kangen yang memuncak, sehingga
sering melampiaskan dengan melamunkan obyek tersebut, melihat fotonya, membicarakan
kesan saat bersamanya, dst. Kondisi ini perlu 'obat' agar tidak berdampak
sistemik pada peri kehidupan kita di sisi yang lain, seperti hubungan bertetangga,
suasana kerja, dll.
Obat kangen dimulai dari memahami
dan menyadari bahwa hakekat hidup kita ini sendiri, jadi wajar apabila kembali
menjadi sendiri-an. Kedua, memahami bahwa dunia ini fana atau tidak ada yang
abadi, yang datang tentu akan pergi, memiliki tentu akan kehilangan; sehingga
keberadaan siapa-apa saja di sekitar kita hanyalah 'tamu' yang sewaktu-waktu
dapat datang dan pergi. Kita wajib memperlakukan 'tamu' dengan cara yang baik dan
memperoleh manfaat yang baik pula, guna bekal masing-masing menuju alam
berikutnya. Ketiga, saat berpisah, ikhlas, percaya dan sabar. Ikhlas karena
memahami hakekat tadi dan apapun yang terjadi sudah menjadi garis-NYA. Percaya,
karena ketidakpercayaan akan menghasilkan kegelisahan. Sabar, karena perjumpaan
kadang tertunda atau bahkan melalui media lain. Keempat, memahami bahwa cinta
semesta dapat ditujukan pada semua hal, baik yang konkrit maupun abstrak, jadi
kita tidak perlu kehabisan koleksi dari obyek-obyek cinta.
Semoga kita termasuk orang yang
mampu menikmati cinta dan kangen pada semesta ini.
0 komentar
mari berkomentar